Pernyataan Sikap: "ISNU Sumut Kecam Kekerasan Aparat terhadap Masyarakat Gurilla Kota Siantar"


Foto:
Imran Simanjuntak, MA
Sekretaris Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Sumatera Utara.

P. Siantar - Nusantarapos.id:
Konflik berkepanjangan antara masyarakat Kelurahan Gurilla dengan PTPN III semakin mendapat sorotan banyak pihak. Salah satu sorotan kini datang dari Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Sumatera Utara (ISNU) yang mengeluarkan pernyataan sikap. PW ISNU mengecam sejumlah pihak termasuk Pemko dan DPRD Siantar yang secara tidak langsung dianggap jadi penyebab munculnya konflik ini. Berikut pernyataan lengkapnya.


Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Sumatera Utara (ISNU) mensinyalir PTPN III melalui tim keamanannya beserta Aparat gabungan (TNI & Polri) telah menghalalkan tindakan kekerasan di lapangan sehingga masyarakat Gurilla kota Pematang Siantar yang menolak tali asih mendapatkan kekerasan berupa; penghancuran lahan yang ditanami masyarakat, perobohan rumah hingga intimidasi agar mau menerima uang tali asih, perlakukan buruk terhadap masyarakat dengan sikap yang merendahkan martabat manusia, bahkan hingga sebagian masyarakat mengalami kekerasan secara fisik yang mengakibatkan luka.


Okupasi kedua yang dilakukan sejak 21 November 2022, menggambarkan betapa negara dalam hal ini Pemerintah Kota Pematang Siantar, DPRD Kota Pematang Siantar, PTPN III, menganggap rakyat seolah penjahat sehingga wajar diperlakukan dengan tidak manusiawi. Teori "pecah-belah", teror, dan intimidasi, terus berkepanjangan dialami masyarakat Gurilla.


Negara dalam hal ini Pemerintah Kota Pematang Siantar, DPRD Kota Pematang Siantar, Kementerian ATR/BPN, PTPN III yang berada di bawah koordinasi Kementerian BUMN, seperti tidak mampu membuka ruang dialog dengan masyarakat. Tidak mampu melakukan pemetaan sosial dan antisipasi dini serta solusi terbaik. Yang terlihat selama hampir puluhan tahun adalah, proses penelantaran lahan dan pembiaran masyarakat memperjuangkan hidupnya sendiri di lahan Gurilla.


Pemantauan di lapangan selama ini menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat Gurilla telah diakui oleh Negara yakni dibuktikan dengan terbitnya KTP, masuknya fasilitas listrik, adanya proyek pengaspalan jalan, pembangunan drainase, serta berdirinya rumah ibadah. Dan secara humanis telah terbangun jejaring sosial sistem kehidupan masyarakat, dan kebudayaan. 


Di sisi lain, secara histori hukum dan perundang-undangan, memang masih ditemukan kontroversi dan apologi. Antara lain, pada Juli 2004 Walikota Pematangsiantar, Ir. Kurnia Rajasyah Saragih, telah mengeluarkan Perwa untuk tidak lagi memperpanjang HGU PTPN III yang berada di Kota Pematangsiantar. Artinya, pasca berakhirnya HGU PTPN III dan Perwa pelarangan perpanjangan, pihak Pemerintahan Kota melakukan penelantaran dan pembiaran pada lahan tersebut. Masyarakat Gurilla yang secara histori melalui orang tua, kakek dan leluhurnya mengetahui pernah mengelola tanah tersebut pasca awal kemerdekaan dan berpegang pada Landreform 1969, memulai membangun kehidupan sosial dan ekomomi dari tanah tersebut hingga menjadi perkampungan seperti sekarang ini. 


Maka sangat disayangkan sejak 2004 hingga 2022 rakyat telah menguasai tanah Gurilla tanpa ada kebijakan dari Pemerintah Kota Pematangsiantar terkait RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) dan aturan serta kebijakan lainnya, yang hal ini bisa jadi juga akan mengalami nasib yang sama dengan eks PTPN III seluas 573 Ha yang berada di Tanjung Pinggir: lambannya penanganan pemerintahan Kota Pematang Siantar merupakan penciptaan dan pemeliharaan konflik berkepanjangan. Sementara masyarakat telah melakukan percepatan pemanfaatan pengelolaan tanah tersebut karna menyangkut kebutuhan hidup dan tuntutan ekonomi. Ini adalah kebutuhan mendasar rakyat yang di lindungi Undang Undang!


Menyangkut klaim  PTPN III yang dikabarkan mengklaim telah memegang perpanjangan HGU Gurilla seluas 124 Ha  sejak Januari 2005, sangat patut untuk dipertanyakan. Sebab perusahaan pelat merah ini juga menelantarkan dan membiarkan lahan Gurilla selama 17 tahun. Dan patut menjadi perhatian dan pertanyaan khusus, mengapa di saat pembangunan jalan tol dan ringroad di kawasan Kelurahan Gurilla akan rampung, seluruh instrumen negara di Kota Siantar baik Pemko dengan Satpol PP-nya, PTPN III, Kepolisian, TNI, mengerucut menjadi satu "menghabisi rakyatnya", sedangkan DPRD diam bak penonton yang tidak mampu memahami apa-apa. Ada apa?


Tindakan kekerasan yang sudah terjadi berulang kali terhadap masyarakat Gurilla yang melibatkan TNI dan Polri, adalah tindakan yang telah melampaui batas dan bertentangan dengan prinsip perlindungan dan keadilan. Karena itu tindakan-tindakan tersebut harus dikutuk sekeras-kerasnya. Kehadiran TNI dan Polri idealnya atas perintah Pengadilan dalam hal Eksekusi yang berawal dari putusan hukum. Maka keterlibatan TNI dan Polri dalam hal ini dapat dikatakan adalah bentuk Eksekusi berkedok Okupasi yang dilakukan oleh PTPN III.


Kami menuntut kepolisian, tentara, dan negara, untuk menghentikan cara-cara kekerasan seperti itu, dan meminta agar menggunakan pendekatan kemanusiaan dalam menangani persoalan yang terjadi pada masyarakat Gurilla, serta mendorong agar segera dibukanya dialog bersama. Kami menuntut terkhusus Pemerintah dan DPRD Kota Pematang Siantar untuk segera, dan harus ada jawaban yang pasti dan sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku terkait dengan tata ruang kota, karena hal tersebut akan sangat membantu untuk menuntaskan persoalan sengketa lahan yang sedang terjadi antara PTPN III dan Masyarakat Gurilla, dengan tetap menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan.


Maka, untuk itu, kami menyatakan sikap:

1. Mendukung perjuangan Masyarakat Gurilla yang mencari keadilan.

2. Menolak dan mengutuk segala bentuk kekerasan, teror dan intimidasi  terhadap Masyarakat Gurilla yang menolak tali asih.

3. Hentikan Okupasi karna legalitas HGU PTPN III syarat cacat administratif.

4. Pemko dan DPRD harus bertanggungjawab atas seluruh kejadian yang menimpa masyarakat Gurilla.

5. Mendesak aparat hukum TNI, POLRI, netral dan tidak memihak serta melakukan pendekatan yang persuasif dan kooperatif atas konflik Gurilla.


Demikian kami sampaikan dukungan kemanusiaan ini agar menjadi pertimbangan dan berharap penyelesaian dengan mengedepankan musyawarah. (NSP.Red/PR/Tim).


Imran Simanjuntak, MA

Sekretaris Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Sumatera Utara.

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu