Oleh : Husnul Jamil
(Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia).
Husnul Jamil, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. |
Nusantarapos.id: - Menjelang perhelatan Pilpres 2024 mendatang, berbagai spekulasi bakal calon kandidat telah sangat kental terhembus kehadapan publik tanah Air saat ini. Dari sekian banyak yang paling sering dichallange dengan berbagai media platform digital dan juga beberapa hasil survei elektabilitas yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei tanah air, ada beberapa nama yang masuk dalam bursa pencalonan dan dibicarakan saat ini yang diantaranya seperti, Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Menteri BUMN Erick Tohir, Ketua DPR Puan Maharani, Menhan Prabowo Subianto, Ketum Umum Partai Demokrat AHY dan Bahkan Ketua umum Partai Golkar Airlangga Hartanto.
Kesemua itu, menjadikan momentum pilpres mendatang akan sangat mengundang rasa perhatian publik akan siapa yang bakalan layak dan pantas untuk di usung oleh parpol yang saat ini memiliki kapasitas mengeluarkan tiket dukungan paslon yang bakal diusung pada pilpres 2024 mendatang.
Hal tersebut dikarenakan dari aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) Pasal 222 menyebutkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Perihal ini mengisyaratkan bahwa setiap calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik yang memperoleh jumlah kursi tersebut sebagai prasyarat (tiket) untuk paslon yang akan diusung, sehingga dengan demikian jika kita melihat jumlah kursi yang ada di DPR saat ini maka akan berkemungkinan hanya akan memiliki maksimal 3 paslon atau hanya 2 calon capres-cawapres di pemilu 2024 mendatang. Dari jumlah kursi yang ada, berartti secara otomatis jika memang terbentuk poros dengan jumlah 3 paslon maka partai-partai yang nantinya akan berpotensi berkoalisi di dalam Pilpres mendatang diantaranya, Gerindra-PDIP, Golkar-PPP-PAN dan Nasdem–PKS-Demokrat.
Berdasarkan dari uraian Analisa diatas, maka potensi nama-nama paslon yang akan berkemungkinan untuk di usung diantaranya Puan Maharani - Prabowo Subianto , Anis - AHY, Airlangga Hartanto – Ganjar/Erick. Disini akan dapat diukur terkait dengan dari mana sumber keuangan paslon capres-cawapres di Plpres mendatang 2024 nantinya. Jika dilihat dari peta poros koalisi tersebut maka bentuk dukungan selain dari partai politik, akan banyak juga bermunculan dari pihak swasta, relawan, dan para broker-broker pilpres yang memang notabennya sering mendompleng momentum Pilpres tersebut untuk ajang membangun komitmen politik dalam memuluskan kepentingan-kepentingan para sponsor politik tersebut.
Model sistem pemilu yang saat ini telah berlangsung di Indonesia dengan sistem “one man-one vote” menjadikan hal ini tidak bisa terlepas dari yang namanya kebutuhan biaya dana kampanye dalam jumlah yang tidak sedikit.
Sehingga bagi setiap kandidat calon pasangan Pilpres secara otomatis membutuhkan support dana mulai dari partai, perseorangan, swasta dan juga pihak lainnya yang memang telah diatur sesuai dengan mekanisme penerimaan biaya dana kampanye politik dari pihak penyelenggara pemilu (KPU) dan wajib dilaporkan serta dipublis kepublik. Kemudian dana biaya kampanye tersebut diperuntukkan untuk pemenuhan atribut, para kadidat dan biaya logistik suksesi paslon peserta serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan yang telah diatur oleh KPU selaku penyelenggara pemilu.
Jika merujuk berdasarkan data yang terpublis pada pilpres 2019 lalu, besaran jumlah biaya dana yang dihabiskan setiap paslon disaat momentum pilpres 2019 berdasarkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) selama pemilihan umum 2019 yang diserahkan, terungkap bahwa dana kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandiaga hanya sepertiga dari dana kampanye Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi - Ma'ruf.
Total dana kampanye BPN Prabowo - Sandiaga mencapai Rp 213,2 miliar, sementara dana kampanye TKN Jokowi - Amin menembus Rp 606,7 miliar, dimana dana tersebut kemudian dilaporkan kepada posko LPPDK penerimaan terbesar untuk dana kampanye BPN berasal dari paslon yang diusungnya. Selain itu, BPN juga mendapat sumbangan dari kelompok, masyarakat, dan partai politik.
Dengan demikian, menjelang perhelatan pilpres yang akan berlangsung pada tahun 2024 mendatang, kemungkinan kebutuhan kucuran anggaran dana biaya akan berkisar mencapai 800 milyar lebih, mengingat tingkat jarak kurun perhelatan tersebut berjarak 5 tahun. Maka secara otomatis jumlah biaya pasti akan berbeda dari pilpres sebelumnya, dikarenakan efek dari berbagai kondisi global yang sedang mengalami naik turunnya tingkat putaran okonomi global akibat pandemic covid-19 menyebabkan banyaknya harga saham anjok dan nilai tukar rupiah melemah, harga-harga mulai naik. Sehingga menjadikan kubutuhan kucuran anggaran biaya kampanye paslon di pilpres 2024 nantinya secara otomatis juga meningkat dalam kalkulasi nominal mata uang rupiah.
Namun, sangat disayangkan jika kita melihat fenomena yang terjadi selama ini. Efek dari sumber kucuran anggaran dana untuk pilpres yang selama ini terjadi di Indonesia kerap disaat pasca pemilihan itu selesai, bagi kandidat yang memenangkan Pilpres akan melakukan bagi-bagi jabatan struktural bagi kabinet kerja pemerintahan untuk satu periode kepemimpinan berdasarkan rekomendasi atas jasa disaat suksesi pemenangan perhelatan Pilpres.
Sehingga ketika sudah resmi menduduki jabatan tersebut tak sedikit kita temui lahirnya kinerja yang hanya menguntungkan beberapa kepentingan kelompok elit semata dan kerap mengenyampingkan kepentingan rakyat menengah kebawah.
Regulasi yang dilahirkan oleh pemerintah hari ini pada kenyataannya Sebagian besar hanya mengakomodir kepentingan para elit semata, seperti yang kerap kita lihat dari lahirnya sebuah keputusan yang dipertontonkan oleh pemerintah sarat akan kepentingan sebagian kelompok elit. Contohnya riuh UU Omnibuslaw, Revisi UU KPK, Gugatan ambang batas pencalonan 20%, Regulasi permen KLHK dan beberapa regulasi lainnya yang dilahirkan banyak menuai permasalahan dikemudian hari.
Maka dari itu, seharusnya jika ingin kedepannya bagaimana agar sumber dana untuk Pilpres 2024 mendatang tidak lagi kerap disusupi oleh aliran dana dari para mafia politik, harus dilakukan sebuah upaya atau wacana baru dengan melakukan beberapa inovasi, baik dalam hal penyelenggaraan pemilu yang jujur, aman dan bersih dari upaya-upaya praktik politik transaksional yang diiringi iming-iming tukar guling kepentingan pasca pilpres usai.
Sudah semestinya semua pihak harus mulai berpikir jernih dengan menjadikan pilpres 2024 mendatang sebagai upaya untuk perwujudan kemajuan pembangunan demokrasi di Indonesia dalam menghadirkan model kampanye yang lebih mendidik, menolak suntikan dana kampanye mafia politik dan sejenisnya demi untuk mewujudkan kesemua hal itu agar tidak terjadi, butuh sebuah niat dan kesepakan komitmen bersama mulai dari pihak parpol, pemerintahan, penyelenggara pemilu dan juga kandidat yang bakalan menjadi calon peserta pada pilpres 2024 mendatang demi mewujudkan perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. (NSP.Red/PR/HusnulJamil).
0 Komentar