Bareskrim Polri Tolak Laporan KontraS Terkait Dugaan Penganiayaan Dan TPPO di Kerangkeng Rumah Milik "TRP"

Koordinator KontraS Sumut Rahmat Muhammad ; "Walaupun laporan kita tidak diterima oleh Bareskrim, tapi kita akan tetap terus mendesak Mabes Polri untuk profesional dan serius dalam penanganan kasus kerangkeng manusia dirumah Bupati Langkat non aktif "TRP".


(Ket. Gambar) : Salah satu foto situasi kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif "TRP", ada tahanan yang Linglung dengan wajah babak belur.


Jakarta - Nusantarapos.id: 
Bareskrim Polri menolak laporan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), terkait adanya dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang ditemukan pada kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin (TRP).


KontraS Sumut pun membeberkan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dari hasil investigasinya terkait kerangkeng manusia tersebut.


"Walaupun laporan kita tidak diterima oleh Bareskrim tapi kita akan tetap terus mendesak Mabes Polri untuk profesional dan serius, kalau bisa mereka (Bareskrim Polri) turun langsung ke lapangan dan melakukan kolaborasi dalam proses pengawasan, penyelidikan dan penyidikan di Polda Sumut, agar penanganan kasus kerangkeng ini dapat ditangani secara lebih serius". Hal tersebut disampaikan Rahmat Muhammad, koordinator KontraS Sumut dalam konferensi pers virtual, Minggu (4/3/2022).


Dia mengatakan, dengan penanganan serius tentunya diharapkan bisa memberi rasa keadilan bagi para korban. Dia juga mendesak Polda Sumatera Utara untuk lebih cepat dan serius dalam melakukan pengembangan kasus ini. 
"Agar dapat terpenuhinya hak dan rasa keadilan bagi para korban, saya kira kita juga harus mendesak kepada Polda Sumut agar proses pengembangan perkara ini dapat segera dituntaskan," ujarnya.

Rahmat menyebut sebanyak 70 saksi telah diperiksa dalam kasus kerangkeng manusia tersebut, dan berharap akan ada aktor lain yang segera ditetapkan sebagai tersangka.

"Harapannya adalah akan ada aktor-aktor lain yang bisa ditetapkan sebagai tersangka, terutama adanya aktor politik ya, karena TRP merupakan eks bupati lalu kemudian dia juga politikus, dan kemudian juga ada korporasi berdiri di situ, tentu saja ketika itu terjadi maka ada atensi-atensi yang mengamankan itu, kami berharap akan ada elite yang ditetapkan sebagai tersangka," paparnya.


KontraS Sumut juga turut melakukan investigasi terkait kerangkeng manusia di rumah TRP. Dia menyebut ada oknum polisi aktif berperan menjemput dan mengantarkan para penghuni untuk masuk ke kerangkeng.

"Kami juga mendesak kepada  Kompolnas ya, Komisi Kepolisian Nasional untuk mendorong proses penegakan etik terhadap adanya dugaan keterlibatan aparat kepolisian dalam kasus kerangkeng rumah mantan bupati Langkat," kata Rahmat.


"Kami juga sudah menemukan fakta bahwa ada beberapa anggota Polri aktif yang terlibat dalam proses penjemputan anak-anak kerangkeng, anak yang sudah  berada diluar kerangkeng kemudian dijemput kembali masuk ke dalam kerangkeng, dan itu ada anggota Polri yang terlibat," ujarnya.

Dia meminta Kementerian Hukum dan HAM kiranya bisa turut memberi atensi pada kasus tersebut, serta mendesak Polda Sumut untuk melaporkan setiap perkembangan dalam kasus ini kepada publik.


"Kita juga meminta kepada Kementerian bidang Hukum dan HAM untuk memberikan atensi khusus terhadap proses penegakan hukum yang terjadi pada kasus ini. Desakan yang ketiga, adalah agar Polda Sumut melaporkan secara aktif dan berkala kepada pubilk termasuk kepada Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia, selaku kuasa hukum para korban untuk melaporkan setiap perkembangan proses hukum yang sedang berjalan," tambahnya.


Rahmat juga mengatakan negara harus hadir dan memberi perhatian serius terhadap penanganan kasus kerangkeng manusia yang ada di rumah TRP. Menurutnya publik harus melihat dan mengetahui kasus ini secara transparan.


"Kami sesungguhnya berharap bahwa penyelesaian kasus ini harus dapat memenuhi rasa keadilan bagi publik, untuk itu sudah seharusnya negara hadir dan memberi perhatian yang serius terhadap kasus ini. Kemudian kita juga mendorong percepatan keadilan dan membuka ruang seluas-luasnya untuk publik, agar bisa melihat dan mengetahui kasus ini secara transparan," tuturnya.


Sementara itu, Gina dari Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) menilai penanganan kasus ini berjalan sangat lambat. Dia mengatakan tersangka yang kini telah ditetapkan hanyalah aktor pendukung.


"Kami menilai proses hukum yang tengah berjalan di Polda Sumut sepertinya ada yang ganjil, tadi sudah disampaikan, misalnya yang pertama kami menilai proses penanganannya sangat lambat, walaupun kasus ini sudah menjadi kasus nasional dan menarik perhatian publik tapi kami menilai penanganannya sangat lambat," ungkap Gina.


"Yang kedua penetapan tersangka hanya menyasar kepada aktor lapangan atau aktor pendukung, tetapi justru tidak mengungkap siapa aktor intelektualnya, padahal aktor intelektual inilah yang sangat berperan dalam memerintahkan, bahkan mengetahui terhadap kerangkeng dan eksploitasi yang terjadi," ujarnya.


Gina juga menyoroti permasalahan mengapa para tersangka masih belum ditahan. Padahal menurutnya, dengan tidak ditahannya para saksi yang statusnya sudah ditetapkan menjadi tersangka berpotensi dapat menghilangkan barang bukti.


"Kami menilai tidak adanya upaya paksa untuk menahan para tersangka ini juga merupakan sebuah keanehan, karena dengan tidak ditahannya para tersangka ini, justru bisa membuka celah bagi tersangka untuk menghilangkan bukti-bukti kejahatan mereka," katanya.


"Kita ketahui bahwa para korban sudah dipulangkan ke rumahnya masing-masing, sehingga bisa saja ada proses-proses kalau para tersangka ini tidak ditahan, maka bisa jadi tersangka akan menghilangkan bukti kejahatannya. Maka menurut kami seharusnya mereka ini ditahan, oleh sebab itulah, mengapa kami melaporkan kasus ini kepada Bareskrim Polri," tambahnya.


Lebih lanjut, dia menyebut proses hukum kasus ini tidak mengakomodir hak-hak korban. 
"Salah satu alasan mengapa langkah hukum yang kami ambil  (melapor ke Bareskrim Polri), karena beberapa hal, yakni laporan proses hukum yang sedang berjalan di Polda Sumatera Utara, kami anggap sama sekali tidak mengakomodir hak-hak korban dan klien kami".


Termasuk sangkaan pasal-pasal yang dikenakan kepada para tersangka, kami menilai dari fakta fakta yang sudah pernah dibeberkan oleh korban (klien kami), bahwa sebenarnya 8 tersangka tersebut bukanlah aktor intelektualnya, mereka hanya merupakan aktor-aktor lapangan, sedangkan aktor intelektualnya hingga kini masih belum bisa diungkap," pungkasnya. (NSP.Red/PR/Dtk).





Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu